Padang – Akademisi Universitas Andalas (UNAND), Hary Efendi, mengecam praktik politik uang atau money politics yang dinilainya sebagai tumor ganas bagi demokrasi. Hal tersebut disampaikannya dalam berbagai diskusi dan dialog.
“Sudah saatnya pelaku politik uang dijerat pidana sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegas Hary Efendi pada Kamis (21/11/2024).
Menurut Hary, politik uang akan terus menggerogoti demokrasi hingga akhirnya membunuhnya. Ia meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Gakumdu untuk bertindak tegas tanpa toleransi untuk menghentikan praktik tersebut.
Baca Juga
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2018 telah mengeluarkan fatwa haram terkait politik uang. Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam, kembali menegaskan bahwa praktik tersebut haram.
“Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau serangan fajar,” ujar Prof Niam.
Fatwa MUI tersebut melarang praktik money politics dalam bentuk apapun, mulai dari permintaan imbalan hingga pemberian materi. Pelaku maupun penerima praktik tersebut dinyatakan haram dan hidupnya tidak berkah.
Hary Efendi menuturkan, regulasi terkait politik uang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Pemberi dan penerima politik uang diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
“Bahkan, menebar sembako di masa kampanye juga merupakan kategori money politics,” tambah Hary.
Ia mengimbau agar Bawaslu, Gakumdu, dan pengadilan tidak hanya menindak pemberi dan penerima politik uang, tetapi juga mengungkap akar masalahnya. Menurut Hary, praktik politik uang terjadi karena calon kepala atau wakil kepala daerah menggelontorkan dana untuk serangan fajar, bukan inisiatif tim sukses.